Minggu, 08 September 2013

Nasehat Para Ulama Salaf

agama nasehat

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata:
 “Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.” (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:
  “Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid’ah.” (Al-I’tisham, 1/112)
Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: “Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu dan agama).” (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
  “Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa’, sedikit atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah.” (As-Siyar, 11/231)
Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata:
  “Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu.” (Asy-Syari’ah hal. 63)
(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma`tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)

Lakukanlah Hal-hal yang Bermanfaat

Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu berkata:
  “Barangsiapa beranggapan perkataannya merupakan bagian dari perbuatannya (niscaya) menjadi sedikit perkataannya, kecuali dalam perkara yang bermanfaat baginya.”
Umar bin Qais Al-Mula’i rahimahullahu berkata:
  “Sseorang melewati Luqman (Al-Hakim) di saat manusia berkerumun di sisinya. Orang tersebut berkata kepada Luqman: “Bukankah engkau dahulu budak bani Fulan?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu berkata lagi, “Engkau yang dulu menggembala (ternak) di sekitar gunung ini dan itu?” Luqman menjawab: “Benar.”
Orang itu bertanya lagi: “Lalu apa yang menyebabkanmu meraih kedudukan sebagaimana yang aku lihat ini?” Luqman menjawab: “Selalu jujur dalam berucap dan banyak berdiam dari perkara-perkara yang tiada berfaedah bagi diriku.”
Abu ‘Ubaidah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu bahwasanya beliau berkata:
  “Termasuk tanda-tanda berpalingnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dari seorang hamba adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kesibukannya dalam perkara-perkara yang tidak berguna bagi dirinya.”
Sahl At-Tustari rahimahullahu berkata:
  “Barangsiapa (suka) berbicara mengenai permasalahan yang tidak ada manfaatnya niscaya diharamkan baginya kejujuran.”
Ma’ruf rahimahullahu berkata: “Pembicaraan seorang hamba tentang masalah-masalah yang tidak ada faedahnya merupakan kehinaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (untuknya).”
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/290-294)

Musibah

Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
  “Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah, red), maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari itu.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 73)
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada keluarganya.”(Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 111)
“Tidak ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca Al-Qur’an malam dan siang akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalah risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita.” (Mawa’izh Al-Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah hal. 32)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
  “Seorang mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar.”

0 komentar:

Posting Komentar